Sabtu, 14 Juni 2014

4. pasar modal

Pasar modal merupakan kegiatan yang berhubungan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek.[1] Pasar Modal menyediakan berbagai alternatif bagi para investor selain alternatif investasi lainnya, seperti: menabung di bank, membeli emas, asuransi, tanah dan bangunan, dan sebagainya. Pasar Modal bertindak sebagai penghubung. Pasar Modal bertindak sebagai penghubung antara parainvestor dengan perusahaan ataupun institusi pemerintah melalui perdagangan instrumen melalui jangka panjang seperti obligasi, saham, dan lainnya. Berlangsungnya fungsi pasar modal (Bruce Lliyd, 1976), adalah meningkatkan dan menghubungkan aliran dana jangka panjang dengan "kriteria pasarnya" secara efisien yang akan menunjang pertumbuhan riil ekonomi secara keseluruhan.[2]
SejarahMenurut buku "Effectengids" yang dikeluarkan Vereneging voor den Effectenhandel pada tahun 1939, transaksi efek telah berlangsung sejak 1880 namun dilakukan tanpa organisasi resmi sehingga catatan tentang transaksi tersebut tidak lengkap. Pada tahun 1878 terbentuk perusahaan untuk perdagangan komuitas dan sekuritas, yakti Dunlop & Koff, cikal bakal PT. Perdanas.
Tahun 1892, perusahaan perkebunan Cultuur Maatschappij Goalpara di Batavia mengeluarkan prospektus penjualan 400 saham dengan harga 500 gulden per saham. Empat tahun berikutnya (1896), harian Het Centrum dari Djoejacarta juga mengeluarkan prospektus penjualan saham senilai 105 ribu gulden dengan harga perdana 100 gulden per saham. Tetapi, tidak ada keterangan apakah saham tersebut diperjualbelikan. Menurut perkiraan, yang diperjualbelikan adalah saham yang terdaftar di bursa Amsterdam tetapi investornya berada di BataviaSurabaya dan Semarang. Dapat dikatakan bahwa ini adalah periode permulaan sejarah pasra modal Indonesia.
Sekitar awal abad ke-19 pemerintah kolonial Belanda mulai membangun perkebunan secara besar-besaran di Indonesia. Sebagai salah satu sumber dana adalah dari para penabung yang telah dikerahkan sebaik-baiknya. Para penabung tersebut terdiri dari orang-orang Belanda dan Eropa lainnya yang penghasilannya sangat jauh lebih tinggi dari penghasilan penduduk pribumi
Atas dasar itulah maka pemerintahan kolonial waktu itu mendirikan pasar modal. Setelah mengadakan persiapan, maka akhirnya Amsterdamse Effectenbueurs mendirikan cabang yang terletak di Batavia (Jakarta) pada tanggal 14 Desember 1912, yang menjadi penyelenggara adalah Vereniging voor de Effectenhandel dan langsung memulai perdagangan. Di tingkat Asia, bursa Batavia ini merupakan yang keempat tertua terbentuk setelah Bombay (1830), Hong Kong (1847), dan Tokyo (1878). Pada saat awal terdapat 13 anggota bursa yang aktif (makelar) yaitu : Fa. Dunlop & Kolf; Fa. Gijselman & Steup; Fa. Monod & Co.; Fa. Adree Witansi & Co.; Fa. A.W. Deeleman; Fa. H. Jul Joostensz; Fa. Jeannette Walen; Fa. Wiekert & V.D. Linden; Fa. Walbrink & Co; Wieckert & V.D. Linden; Fa. Vermeys & Co; Fa. Cruyff dan Fa. Gebroeders.
Pada awalnya bursa ini memperjualbelikan saham dan obligasi perusahaan/perkebunan Belanda yang beroperasi di Indonesia, obligasi yang diterbitkan pemerintah (provinsi dan kotapraja), sertifikat saham perusahaan-perusahaan Amerika yang diterbitkan oleh kantor administrasi di negeri Belanda serta efek perusahaan Belanda lainnya.
Meskipun pada tahun 1914 bursa di Batavia sempat ditutup karena adanya Perang Dunia I[rujukan?], namun dibuka kembali pada tahun 1918. Perkembangan pasar modal di Batavia tersebut begitu pesat sehingga menarik masyarakat kota lainnya. Untuk menampung minat tersebut, pada tanggal 11 Januari 1925 di kota Surabaya dan 1 Agustus 1925 di Semarang resmi didirikan bursa. Anggota bursa di Surabaya waktu itu adalah: Fa. Dunlop & Koff, Fa. Gijselman & Steup, Fa. V. Van Velsen, Fa. Beaukkerk & Cop, dan N. Koster. Sedangkan anggota bursa di Semarang waktu itu adalah : Fa. Dunlop & Koff, Fa. Gijselman & Steup, Fa. Monad & Co, Fa. Companien & Co, serta Fa. P.H. Soeters & Co. Hal ini dikarenakan keadaan pasar modal waktu itu cukup menggembirakan yang terlihat dari nilai efek yang tercatat yang mencapai NIF 1,4 miliar (jika di indeks dengan harga beras yang disubsidi pada tahun 1982, nilainya adalah + Rp. 7 triliun) yang berasal dari 250 macam efek.[rujukan?]
Periode menggembirakan ini tidak berlangsung lama karena dihadapkan pada resesi ekonomi tahun 1929 dan pecahnya Perang Dunia II (PD II). Keadaan yang semakin memburuk membuat Bursa Efek Surabaya dan Semarang ditutup terlebih dahulu. Kemudian pada 10 Mei 1940 disusul oleh Bursa Efek Jakarta. Selanjutnya baru pada tanggal 3 Juni 1952, Bursa Efek Jakarta dibuka kembali. Operasional bursa pada waktu itu dilakukan oleh PPUE (Perserikatan Perdagangan Uang dan Efek) yang beranggotakan bank negara, bank swasta dan para pialang efek. Pada tanggal 26 September 1952 dikeluarkan Undang-undang No 15 Tahun 1952 sebagai Undang-Undang Darurat yang kemudian ditetapkan sebagai Undang-Undang Bursa.
Namun kondisi pasar modal nasional memburuk kembali karena adanya nasionalisasi perusahaan asing, sengketa Irian Barat dengan Belanda, dan tingginya inflasi pada akhir pemerintahan Orde Lama yang mencapai 650%. Hal ini menyebabklan tingkat kepercayaan masyarakat kepada pasar modal merosot tajam, dan dengan sendirinya Bursa Efek Jakarta tutup kembali.
Baru pada Orde Baru kebijakan ekonomi tidak lagi melancarkan konfrontasi terhadap modal asing. Pemerintah lebih terbuka terhadap modal luar negeri guna pembangunan eknomi yang berkelanjutan.[rujukan?] Beberapa hal yang dilakukan adalah pertama, mengeluarkan Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1976 tentang pendirian Pasar Modal, membentuk Badan Pembina Pasar Modal, serta membentuk Badan Pelaksana Pasar Modal (BAPEPAM). Yang kedua ialah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 1976 tentang penetapan PT Danareksa sebagai BUMN pertama yang melakukan go public dengan penyertaan modal negara Republik Indonesia sebanyak Rp. 50 miliar. Yang ketiga adalah memberikan keringan perpajakan kepada perusahaan yang go public dan kepada pembeli saham atau bukti penyertaan modal.
Perkembangan pasar modal selama tahun 1977 s/d 1987 mengalami kelesuan meskipun pemerintah telah memberikan fasilitas kepada perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan dana dari bursa efek. Tersendatnya perkembangan pasar modal selama periode itu disebabkan oleh beberapa masalah antara lain mengenai prosedur emisi saham dan obligasi yang terlalu ketat, adanya batasan fluktuasi harga saham dan lain sebagainya. PT. Semen Cibinong merupakan perusahaan pertama yang dicatat dalam saham BEJ.
Baru setelah pemerintah melakukan deregulasi pada periode awal 1987, gairah di pasar modal kembali meningkat. Deregulasi yang pada intinya adalah melakukan penyederhanaan dan merangsang minat perusahaan untuk masuk ke bursa serta menyediakan kemudahan-kemudahan bagi investor. Kebijakan ini dikenal dengan tiga paket yakni Paket Kebijaksanaan Desember 1987, Paket Kebijaksanaan Oktober 1988, dan Paket Kebijaksanaan Desember 1988.
Paket Kebijaksanaan Desember 1987 atau yang lebih dikenal dengan Pakdes 1987 merupakan penyederhanaan persyaratan proses emisi saham dan obligasi, dihapuskannya biaya yang sebelumnya dipungut oleh Bapepam, seperti biaya pendaftaran emisi efek. Kebijakan ini juga menghapus batasan fluktuasi harga saham di bursa efek dan memperkenalkan bursa paralel. Sebagai pilihan bagi emiten yang belum memenuhi syarat untuk memasuki bursa efek.[rujukan?]
Kemudian Paket Kebijaksanaan Oktober 1988 atau disingkat Pakto 88 ditujukan pada sektor perbankkan, namun mempunyai dampak terhadap perkembangan pasar modal. Pakto 88 berisikan tentang ketentuan 3 L (Legal, Lending, Limit), dan pengenaan pajak atas bunga deposito. Pengenaan pajak ini berdampak positif terhadap perkembangan pasar modal. Sebab dengan keluarnya kebijaksanaan ini berarti pemerintah memberi perlakuan yang sama antara sektor perbankan dan sektor pasar modal.
Yang ketiga adalah Paket Kebijaksanaan Desember 1988 atau Pakdes 88 yang pada dasarnya memberikan dorongan yang lebih jauh pada pasar modal dengan membuka peluang bagi swasta untuk menyelenggarakan bursa.Hal ini memudahkan investor yang berada di luar Jakarta.[rujukan?]
Di samping ketiga paket kebijakan ini terdapat pula peraturan mengenai dibukanya izin bagi investor asing untuk membeli saham di bursa Indonesia yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 1055/KMK.013/1989. Investor asing diberikan kesempatan untuk memiliki saham sampai batas maksimum 49% di pasar perdana, maupun 49 % saham yang tercatat di bursa efek dan bursa paralel. Setelah itu disusul dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan No. 1548/KMK.013/1990 yang diubah lagi dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 1199/KMK.010/1991. Dalam keputusan ini dijelaskna bahwa tugas Bapepam yang semula juga bertindak sebagai penyelenggara bursa, maka hanya menjadi badan regulator. Selain itu pemerintah juga membentuk lembaga baru seperti Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), Kliring dan Penjaminan Efek Indonesia (KPEI), reksadana, serta manajer Investasi.
Keadaan setelah kebijakan deregulasi itu dikeluarkan benar-benar berbeda. Pasar modal menjadi sesuatu yang menggemparkan, karena investasi di bursa efek berkembang sangat pesat. Banyak perusahaan antri untuk dapat masuk bursa. Para investor domestik juga ramai-ramai ikut bermain di bursa saham. Selama tahun 1989 tercatat 37 perusahaan go public dan sahamnya tercatat (listed) di Bursa Efek Jakarta. Sedemikian banyaknya perusahaan yang mencari dana melalui pasar modal, sehingga masyarakat luas pun berbondong-bondong untuk menjadi investor. Perkembangan ini berlanjut dengan swastanisasi bursa, yakni berdirinya PT. Bursa Efek Surabaya, serta pada tanggal 13 Juli 1992 berdiri PT. Bursa Efek Jakarta yang menggantikan peran Bapepam sebagai pelaksana bursa.
Akibat dari perubahan yang menggembirakan ini adalah semakin tumbuhnya rasa kepercayaan investor terhadap keberadaan pasar modal Indonesia. Hal ini ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan mengeluarkan peraturan berupa Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 yang berlaku efektif sejak tanggal 1 Januari 1996. Undang-undang ini dilengkapi dengan peraturan organiknya, yakni Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal, serta Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal.
Tahun 1995, mulai diberlakukan sistem JATS (Jakarta Automatic Trading System). Suatu system perdagangan di lantai bursa yang secara otomatis me-matchkan antara harga jual dan beli saham. Sebelum diberlakukannya JATS, transaksi dilakukan secara manual. Misalnya dengan menggunakan “papan tulis” sebagai papan untuk memasukkan harga jual dan beli saham. Perdagangan saham berubah menjadi scripless trading, yaitu perdagangan saham tanpa warkat (bukti fisik kepemilikkan saham)Lalu dengan seiring kemajuan teknologi, bursa kini menggunakan sistem Remote Trading, yaitu sistem perdagangan jarak jauh.
Pada tanggal 22 Juli 1995, BES merger dengan Indonesian Parallel Stock Exchange (IPSX), sehingga sejak itu Indonesia hanya memiliki dua bursa efek: BES dan BEJ.
Pada tanggal 19 September 1996, BES mengeluarkan sistem Surabaya Market information and Automated Remote Trading (S-MART) yang menjadi Sebuah sistem perdagangan yang komprehensif, terintegrasi dan luas remote yang menyediakan informasi real time dari transaksi yang dilakukan melalui BES.
Pada tahun 1997, krisis ekonomi melanda negara-negara Asia, khususnya ThailandFilipinaHong KongMalaysiaSingapuraJepangKorea Selatan, dan Cina, termasukIndonesia. Akibatnya, terjadi penurunan nilai mata uang asing terhadap nilai dolar.
Bursa Efek Jakarta melakukan merger dengan Bursa Efek Surabaya pada akhir 2007 dan pada awal 2008 berubah nama menjadi Bursa Efek Indonesia.
Dari regulasi yang dikeluarkan periode ini mempunyai ciri khas yakni, diberikannya kewenangan yang cukup besar dan luas kepada Bapepam selaku badan pengawas. Amanat yang diberikan dalam UU Pasar Modal secara tegas menyebutkan bahwa Bapepam dapat melakukan penyelidikan, pemeriksaan, dan penyidikan jika terjadi kejahatan di pasar modal.
Struktur[sunting | sunting sumber]
Struktur Pasar Modal di Indonesia tertinggi berada pada menteri Keuangan menunjuk Bapepam merupakan lembaga pemerintah yang bertugas untuk melakukan pembinaan, pengaturan dan pengawasan sehari-hari pasar modal dengan tujuan mewujudkan terciptanya kegiatan pasar modal yang teratur, wajar, efisien serta melindungi kepentingan masyarakat pemodal.[3]
Pelaku[sunting | sunting sumber]
Para pemain utama yang terlibat di pasar modal dan lembaga penunjang yang terlibat langsung dalam proses transaksi antara pemain utama sebagai berikut
Emiten
Perusahaan yang akan melakukan penjualan surat-surat berharga atau melakukan emisi di bursa (disebut emiten). Dalam melakukan emisi, para emiten memiliki berbagai tujuan dan hal ini biasanya sudah tertuang dalam rapat umum pemegang saham (RUPS), antara lain :
Perluasan usaha, modal yang diperoleh dari para investor akan digunakan untuk meluaskan bidang usaha, perluasan pasar atau kapasitas produksi.
Memperbaiki struktur modal, menyeimbangkan antara modal sendiri dengan modal asing.
Mengadakan pengalihan pemegang saham. Pengalihan dari pemegang saham lama kepada pemegang saham baru.
Investor
Pemodal yang akan membeli atau menanamkan modalnya di perusahaan yang melakukan emisi (disebut investor). Sebelum membeli surat berharga yang ditawarkan, investor biasanya melakukan penelitian dan analisis tertentu. Penelitian ini mencakup bonafiditas perusahaan, prospek usaha emiten dan analisis lainnya.
Tujuan utama para investor dalam pasar modal antara lain :
Memperoleh deviden. Ditujukan kepada keuntungan yang akan diperolehnya berupa bunga yang dibayar oleh emiten dalam bentuk deviden.
Kepemilikan perusahaan. Semakin banyak saham yang dimiliki maka semakin besar pengusahaan (menguasai) perusahaan.
Berdagang. Saham dijual kembali pada saat harga tinggi, pengharapannya adalah pada saham yang benar-benar dapat menaikkan keuntungannya dari jual beli sahamnya.
Lembaga Penunjang
Fungsi lembaga penunjang antara lain turut serta mendukung beroperasinya pasar modal, sehingga mempermudah baik emiten maupun investor dalam melakukan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pasar modal.
Penjamin emisi (underwriter).
Lembaga yang menjamin terjualnya saham/obligasi sampai batas waktu tertentu dan dapat memperoleh dana yang diinginkan emiten.
Perantara perdagangan efek (broker/ pialang)
Perantaraan dalam jual beli efek, yaitu perantara antara si penjual (emiten) dengan si pembeli (investor). Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh broker antara lain meliputi:
Memberikan informasi tentang emiten
Melakukan penjualan efek kepada investor
Perdagangan efek (dealer)
Berfungsi sebagai:
Pedagang dalam jual beli efek
Sebagai perantara dalam jual beli efek
Penanggung (guarantor)
Lembaga penengah antara pemberi kepercayaan dengan penerima kepercayaan. Lembaga yang dipercaya oleh investor sebelum menanamkan dananya.
Wali amanat (trustee)
Jasa wali amanat diperlukan sebagai wali dari si pemberi amanat (investor). Kegiatan wali amanat meliputi:
Menilai kekayaan emiten
Menganalisis kemampuan emiten
Melakukan pengawasan dan perkembangan emiten
Memberi nasehat kepada para investor dalam hal yang berkaitan dengan emiten
Memonitor pembayaran bunga dan pokok obligasi
Bertindak sebagai agen pembayaran
Perusahaan surat berharga (securities company)
Mengkhususkan diri dalam perdagangan surat berharga yang tercatat di bursa efek. Kegiatan perusahaan surat berharga antara lain :
Sebagai pedagang efek
Penjamin emisi
Perantara perdagangan efek
Pengelola dana
Perusahaan pengelola dana (investment company)
Mengelola surat-surat berharga yang akan menguntungkan sesuai dengan keinginan investor, terdiri dari 2 unit yaitu sebagai pengelola dana dan penyimpan dana.
Kantor administrasi efek.
Kantor yang membantu para emiten maupun investor dalam rangka memperlancar administrasinya.[rujukan?]
Membantu emiten dalam rangka emisi
Melaksanakan kegiatan menyimpan dan pengalihan hak atas saham para investor
Membantu menyusun daftar pemegang saham
Mempersiapkan koresponden emiten kepada para pemegang saham
Membuat laporan-laporan yang diperlukan
Fungsi
Secara umum, fungsi pasar modal adalah sebagai berikut:[4]
Sebagai sarana penambah modal bagi usaha
Perusahaan dapat memperoleh dana dengan cara menjual saham ke pasar modal. Saham-saham ini akan dibeli oleh masyarakat umum, perusahaan-perusahaan lain, lembaga, atau oleh pemerintah.
Sebagai sarana pemerataan pendapatan
Setelah jangka waktu tertentu, saham-saham yang telah dibeli akan memberikan deviden (bagian dari keuntungan perusahaan) kepada para pembelinya (pemiliknya). Oleh karena itu, penjualan saham melalui pasar modal dapat dianggap sebagai sarana pemerataan pendapatan.
Sebagai sarana peningkatan kapasitas produksi
Dengan adanya tambahan modal yang diperoleh dari pasar modal, maka produktivitas perusahaan akan meningkat.
Sebagai sarana penciptaan tenaga kerja
Keberadaan pasar modal dapat mendorong muncul dan berkembangnya industri lain yang berdampak pada terciptanya lapangan kerja baru.
Sebagai sarana peningkatan pendapatan negara
Setiap deviden yang dibagikan kepada para pemegang saham akan dikenakan pajak oleh pemerintah. Adanya tambahan pemasukan melalui pajak ini akan meningkatkan pendapatan negara.
Sebagai indikator perekonomian negara
Aktivitas dan volume penjualan/pembelian di pasar modal yang semakin meningkat (padat) memberi indikasi bahwa aktivitas bisnis berbagai perusahaan berjalan dengan baik. Begitu pula sebaliknya.
Manfaat
Bagi emiten
Bagi emiten, pasar modal memiliki beberapa manfaat, antara lain:[
jumlah dana yang dapat dihimpun berjumlah besar
dana tersebut dapat diterima sekaligus pada saat pasar perdana selesai
tidak ada convenant sehingga manajemen dapat lebih bebas dalam pengelolaan dana/perusahaan
solvabilitas perusahaan tinggi sehingga memperbaiki citra perusahaan
ketergantungan emiten terhadap bank menjadi lebih kecil
Bagi investor[sunting | sunting sumber]
Sementara, bagi investor, pasar modal memiliki beberapa manfaat, antara lain:[5]
nilai investasi perkembang mengikuti pertumbuhan ekonomi. Peningkatan tersebut tercermin pada meningkatnya harga saham yang mencapai kapital gain
memperoleh dividen bagi mereka yang memiliki/memegang saham dan bunga yang mengambang bagi pemenang obligasi
dapat sekaligus melakukan investasi dalam beberapa instrumen yang mengurangi risiko
Lembaga dan Struktur Pasar Modal Indonesia[sunting | sunting sumber]
Pasar Modal di Indonesia terdiri atas lembaga-lembaga sebagai berikut:[rujukan?]
Bursa efek, saat ini ada dua: Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya namun sejak akhir 2007 Bursa Efek Surabaya melebur ke Bursa Efek Jakarta sehingga menjadiBursa Efek Indonesia
Lembaga Kliring dan Penjaminan, saat ini dilakukan oleh PT. Kliring Penjaminan Efek Indonesia (PT. KPEI)
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, saat ini dilakukan oleh PT. Kustodian Sentral Efek Indonesia (PT. KSEI)
Mekanisme[sunting | sunting sumber]
Penawaran Umum (Go Public)[sunting | sunting sumber]
Secara tahap awal, perusahaan harus melakukan penawaran umum. Penawaran Umum (go public) merupakan kegiatan yang dilakukan perusahaan untuk mendapatkan dana dari masyarakat pemodal dengan cara menjual saham atau obligasi. Penawaran umum dilakukan oleh emiten untuk menjual efek kepada publik sehingga masyarakat dari berbagai lapisan membeli dan turut memegang saham atas perusahaan yang menerbitkan saham. Dengan melakukan go public, perusahaan mendapat berbagai keuntungan antara lain sebagai berikut:
Mendapatkan dana yang cukup besar bagi pengembangan usaha dan memperbaiki struktur modal, karena dana tersebut diterima langsung tanpa melalui berbagai tahapan (termin)
Dengan kepemilikan saham yang tersebar di masyarakat, perusahaan dituntut untuk melakukan kegiatan usahanya dengan transparan dan profesional sehingga memacu perusahaan tersebut untuk berkembang.
Membuka kesempatan bagi masyarakat untuk melakukan investasi dengan jalan kepemilikan saham.
Lebih dikenal oleh masyarakat sehingga secara tidak langsung aktivitas promosi turut berjalan.
Berikut merupakan tahapan yang harus dilakukan perusahaan dalam proses penawaran umum go public.
Tahap persiapan
Perusahaan yang akan menerbitkan saham terlebih dahulu melakukan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk membentuk kesepakatan di antara para pemegang saham dalam rangka penawaran umum saham. Setelah sepakat, emiten menentukan penjamin emisi serta lembaga dan penunjang pasar yang meliputi lembaga-lembaga berikut ini.
Penjamin emisi (under writer), merupakan pihak yang membantu emiten dalam rangka penerbitan saham. Tugasnya antara lain, menyiapkan berbagai dokumen, membantu menyiapkan prospektus, dan memberikan penjaminan atas penerbitan.
Akuntan publik (auditor independen), merupakan pihak yang bertugas melakukan audit dan pemeriksaan laporan keuangan calon emiten.
Penilai, yaitu pihak yang melakukan penilaian terhadap aktiva tetap perusahaan dan menentukan tingkat kelayakannya.
Konsultan hukum (legal opinion) membantu dan memberikan pendapat dari sisi hukum.
Notaris bertugas membuat angka-angka perubahan anggaran dasar, akta-akta perjanjian, dan notulensi rapat.
Tahap Pengajuan Pernyataan Pendaftaran
Calon emiten melakukan pendaftaran dengan dilengkapi dokumen-dokumen pendukung kepada Bapepam. Kemudian bapepam memutuskan calon emiten memenuhi persyaratan atau tidak.[7]
Tahap Penawaran Saham
Pada tahapan inilah emiten menawarkan sahamnya kepada masyarakat investor melalui agen-agen penjual yang telah ditunjuk. Dalam tahapan ini keinginan investor untuk memiliki saham terkadang tidak terpenuhi. Misalnya, saham yang dilepas ke pasar perdana sebanyak 150 juta lembar saham, sementara investor berminat untuk sejumlah 250 juta lembar saham. Investor yang belum mendapatkan saham dapat membelinya di pasar sekunder setelah saham dicatatkan di bursa efek.
Tahap Pencatatan Saham di Bursa Efek
Setelah saham ditawarkan di pasar perdana, selanjutnya saham dicatatkan di Bursa Efek Indonesia. Pencatatan saham dapat dilakukan di bursa efek tersebut.[
Syarat Pencatatan Saham di BEI
Calon emiten dapat mencatatkan sahamnya di bursa, apabila telah memenuhi syarat berikut:
Pernyataan Pendaftaran Emisi telah dinyatakan efektif oleh Bapepam.
Laporan keuangan harus sudah diaudit oleh akuntan publik, diregistrasi di Bapepam dan mendapat pernyataan unqualified opinion untuk tahun fiskal kemarin.
Jumlah minimum adalah satu juta lembar saham.
Jumlah minimum pemegang saham awal adalah 200 investor dengan masing-masing memiliki minimum 500 lembar.
Mempunyai aktiva minimum sebanyak Rp. 20 Miliar, ekuitas pemegang saham (stockholder’s equity) minimum sebesar Rp 7.5 miliar dan modal yang sudah disetor (paid up capital) minimum sebesar Rp 2 miliar.
Minimum kapitalisasi setelah penawaran ke public sebesar Rp. 4 miliar.
Khusus calon emiten pabrik, tidak dalam masalah pencemaran lingkungan (hal tersebut dibuktikan dengan sertifikat AMDAL) dan calon emiten industri kehutanan harus memiliki sertifikat ecolabeling (ramah lingkungan).
Calon emiten tidak sedang dalam sengketa hukum yang diperkirakan dapat memengaruhi kelangsungan perusahaan.
Khusus calon emiten bidang pertambangan, harus memiliki izin pengelolaan yang masing berlaku minimal 15 tahun; memiliki minimal satu kontrak karya atau kuasa penambangan atau surat izin penambangan daerah; minimal salah satu anggota direksinya memiliki kemampuan teknis dan pengalaman di bidang pertambangan; calon meiten sudah memiliki cadangan terbukti (proven deposit) atau yang setara.
Khusus calon emiten yang bidang usahanya memerlukan izin pengelolaan (seperti jalan tol, penguasa hutan) dan harus memiliki izin tersebut minimal 15 tahun.



NAMA   : DARMI KARTIKA
NPM      : 11112722

KELAS : 2ka30

3.Modal ventura

Modal ventura adalah merupakan suatu investasi dalam bentuk pembiayaan berupa penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan swasta sebagai pasangan usaha (investee company) untuk jangka waktu tertentu. Pada umumnya investasi ini dilakukan dalam bentuk penyerahan modal secara tunai yang ditukan dengan sejumlah saham pada perusahaan pasangan usaha. Investasi modal ventura ini biasanya memiliki suatu risiko yang tinggi namun memberikan imbal hasil yang tinggi pula. Kapitalis ventura atau dalam bahasa asing disebut venture capitalist (VC), adalah seorang investor yang berinvestasi pada perusahaan modal ventura. Dana ventura ini mengelola dana investasi dari pihak ketiga (investor) yang tujuan utamanya untuk melakukan investasi pada perusahaan yang memiliki risiko tinggi sehingga tidak memenuhi persyaratan standar sebagai perusahaan terbuka ataupun guna memperoleh modal pinjaman dari perbankan. Investasi modal ventura ini dapat juga mencakup pemberian bantuan manajerial dan teknikal. Kebanyakan dana ventura ini adalah berasal dari sekelompok investor yang mapan keuangannya, bank investasi, dan institusi keuangan lainnya yang melakukan pengumpulan dana ataupun kemitraan untuk tujuan investasi tersebut. Penyertaan modal yang dilakukan oleh modal ventura ini kebanyakan dilakukan terhadap perusahaan-perusahaan baru berdiri sehingga belum memilkii suatu riwayat operasionil yang dapat menjadi catatan guna memperoleh suatu pinjaman. Sebagai bentuk kewirausahaan, pemilik modal ventura biasanya memiliki hak suara sebagai penentu arah kebijakan perusahaan sesuai dengan jumlah saham yang dimilikinya.

Sejarah awal mula modal ventura modern
Walaupun penyertaan modal sudah dikenal serta dilakukan oleh investor sejak zaman dahulu, Georges Doriot dikenal sebagai penemu dari industri modal ventura.
·         pada tahun 1946, Doriot mendirikan American Research and Development Corporation (AR&D), dimana investasinya pada perusahaan Digital Equipment Corporation adalah merupakan sukses terbesar. Pada Tahun 1968 sewaktu Digital Equipment melakukan penawaran sahamnya kepada publik, dan ini memberikan imbal hasil investasi (return on investment-ROI) sebesar 101% kepada AR&D .
Investasi ARD's yang senilai $70.000 USD pada Digital Equipment Corporation pada tahun 1957 tersebut telah bertumbuh nilainya menjadi $355 juta USD.
·         Biasanya juga dianggap bahwa modal ventura yang pertama kali adalah investasi yang dilakukan pada tahun 1959 oleh Venrock Associates pada perusahaan Fairchild Semiconductor,
·         Awal mula tumbuhnya industri modal ventura ini adalah denganj diterbitkannya Undang-undang investasi usaha kecil (Small Business Investment Act) di Amerika pada tahun 1958 dimana secara resmi diperbolehkannya Kantor Pendaftaran Usaha Kecil (Small Business Administration (SBA)) untuk mendaftarkan perusahaan modal kecil untuk membantu pembiayaan dan permodalan dari usaha wiraswasta di Amerika.
Di Indonesia
Mengacu kepada Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 1251/1988, perusahaan modal ventura dapat membantu permodalan maupun bantuan teknis yang diperlukan calon pengusaha maupun usaha yang sudah berjalan guna:
·         Pengembangan suatu penemuan baru.
·         Pengembangan perusahaan yang pada tahap awal usahanya mengalami kesulitan dana.
·         Membantu perusahaan yang berada pada tahap pengembangan.
·         Membantu perusahaan yang berada dalam tahap kemunduran usaha.
·         Pengembangan projek penelitian dan rekayasa.
·         Pengembangan berbagai penggunaan teknologi baru dan alih teknologi baik dari dalam maupun luar negeri.
·         Membantu pengalihan pemilikan perusahaan
Sejarah modal ventura di Indonesia]

Perusahaan modal ventura di Indonesia diawali dengan pembentukan PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI), sebuah badan usaha milik negara (BUMN) yang sahamnya dimilki oleh Departemen Keuangan (82,2%) dan Bank Indonesia (17,8%).
Gema nama Bahana memang sempat menggetarkan "dunia keuangan" nusantara. Ketika pada tahun 1993 salah satu anak usahanya, PT Bahana Artha Ventura (BAV), agresif melebarkan usaha ke seluruh provinsi, membentuk Perusahaan Modal Ventura Daerah (PMVD). Sasarannya, usaha kecil menengah (UKM) untuk dibiayai.
Cara pembiayaan modal ventura di Indonesia
Beberapa cara pembiayaan yang dilakukan oleh modal ventura di Indonesia, yaitu dengan cara :
·         Penyertaan saham secara langsung kepada perusahaan yang menjadi pasangan usaha.
·         Dengan membeli obligasi konversi yang setelah waktu yang disepakati bersama dapat dikonversi menjadi saham / penyertaan modal pada perseroan.
·         Dengan pola bagi hasil dimana persentase tertentu dari keuntungan setiap bulan akan diberikan kepada perusahaan modal ventura oleh perusahaan pasangan usaha.
Pola bagi hasil yang mungkin dilakukan adalah sbb:
·         Bagi hasil berdasarkan pendapatan yang diperoleh (revenue sharing).
·         Bagi hasil berdasarkan keuntungan bersih (net profit sharing).

·         Bagi hasil berdasarkan perjanjian.



nama : darmi kartika
kelas : 2ka30
npm   : 11112722

Rabu, 11 Juni 2014

2. Faktor kebijakan 20 oktober 1988 dan kebijakan 20 desember 1988

Deregulasi perbankan dimulai sejak tahun 1983. Pada tahun tersebut, BI memberikan keleluasaan kepada bank-bank untuk menetapkan suku bunga. Pemerintah berharap dengan kebijakan deregulasi perbankan maka akan tercipta kondisi dunia perbankan yang lebih efisien dan kuat dalam menopang perekonomian.

Kebijakan deregulasi perbankan ini kemudian terus terjadi dengan rangkaian kebijakan-kebijakan lainnya. Pada tahun 1988, Pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88). Memasuki tahun 1990-an, BI mengeluarkan Paket Kebijakan Februari 1991 yang berisi ketentuan yang mewajibkan bank berhati-hati dalam pengelolaannya. Pada 1992 dikeluarkan UU Perbankan menggantikan UU No. 14/1967. Sejak saat itu, terjadi perubahan dalam klasifikasi jenis bank, yaitu bank umum dan BPR. UU Perbankan 1992 juga menetapkan berbagai ketentuan tentang kehati-hatian pengelolaan bank dan pengenaan sanksi bagi pengurus bank yang melakukan tindakan sengaja yang merugikan bank, seperti tidak melakukan pencatatan dan pelaporan yang benar, serta pemberian kredit fiktif, dengan ancaman hukuman pidana. Selain itu, UU Perbankan 1992 juga memberi wewenang yang luas kepada Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi pengawasan terhadap perbankan.

Tabel  Rangkaian Kebijakan Deregulasi Perbankan
Periode/Tahun
Kebijakan
1983
Awal mula deregulasi perbankan. Dikeluarkannya Paket Kebijakan Juni 1983 (Pakjun 83).
1988
Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88) dikeluarkan oleh Pemerintah.
1991
Paket Kebijakan Februari 1991 dikeluarkan oleh BI.
1992
UU Perbankan disahkan, menggantikan UU No. 14/1967.
1992
Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Cikal bakal legalisasi Bank Syariah di Indonesia.
Sumber : Sejarah Bank Indonesia: Perbankan Periode 1983-1997.

Tujuan Deregulasi Perbankan
Berdasarkan dokumen “Sejarah Bank Indonesia: Perbankan Periode 1983-1997”, ada beberapa sasaran atau tujuan strategis baik Pemerintah maupun BI melakukan deregulasi perbankan, diantaranya adalah: 
*Meningkatkan peran perbankan dalam pembangunan ekonomi. 
*Menciptakan alat-alat moneter berdasarkan mekanisme pasar dan menjaga. 
*Kestabilan moneter dengan menggunakan alat yang diciptakannya. 
*Melakukan pengendalian devisa dan mendorong ekspor nonmigas. 
*Menunjang pengembangan pasar modal. 
* Menunjang pengembangan usaha kecil dan koperasi.
Untuk mencapai sasaran strategis tersebut baik BI dan Pemerintah menetapkan beberapa langkah strategis yaitu diantaranya adalah : 

Menstimulus perbankan sebanyak mungkin membiayai pemberian kreditnya dengan dana simpanan masyarakat dan mengurangi ketergantungan bank-bank pada KLBI. 
Mendorong perbankan untuk menciptakan produk-produk jasa perbankan baru maupun meningkatkan efisiensi dalam operasi bank.

Kredit (Macet) dan Praktek Rent-seeking
Deregulasi perbankan mendorong aturan-aturan mengenai bank menjadi lebih mudah, baik dari sisi pembuatan bank baru atau operasional bank itu sendiri. Salah satu perubahan yang signifikasi terjadi adalah meningkatnya kredit investasi ke sektor industri. Pada periode 1973-1982 rata-rata kredit investasi hanya sebesar 30,1 persen. Angka ini kemudian meningkat pesat setelah dilakukannya deregulasi perbankan. Tercatat terjadi peningkatan sebesar 177,26 persen pada kredit investasi pada akhir tahun 1983. (lihat Tabel 2)

Sebelum Deregulasi
Sesudah Deregulasi
Pada periode 1973-1982 rata-rata kredit investasi sebesar 30,1 persen. 47,03 % (1981) dan 50,4% (1982)
Terjadi peningkatan sebesar 177,26 persen pada kredit investasi pada akhir tahun 1983.

Sumber: Laporan Bulanan Bank Indonesia, disadur dari Satrio (1988) 

Kebijakan deregulasi perbankan yang memiliki tujuan mulia ini kemudian terdistorsi akibat maraknya praktek para pemburu rente (Rent-seekers) saat itu. Sebelum menganalisis pola rent seekingyang terjadi, penulis akan mencoba mencari definisi dan apa saja yang lazim terjadi dalam praktek rent-seeking. Di bawah ini adalah definisi rent-seeking menurut OECD Dictionary:

The opportunity to capture monopoly rents provides firms with an incentive to use scarce resources to secure the right to become a monopolist. Such activity is referred to as rent-seeking. Rent-seeking is normally associated with expenditures designed to persuade governments to impose regulations which create monopolies. Examples are entry restrictions and import controls. However, rent-seeking may also refer to expenditures tocreate private monopolies.

Berdasarkan definisi di atas maka praktek rent-seeking itu memiliki beberapa ciri:
1.    Mencoba menerapkan praktek monopoli, khususnya sumber daya.
2.    Adanya praktek merayu atau melobby Pemerintah guna mencari perlindungan atau mendapatkan hak guna sumber daya.
Jika kita lihat konteks deregulasi perbankan dengan kaca mata rent-seeking, kita akan mendapatkan dua ciri tersebut dalam penyalahgunaan kredit perbankan oleh para pemburu rente. Wujud nyata dari praktek rent-seeking ini adalah merebaknya kredit macet di awal tahun 1990-an.

Salah satu kasus yang menghebohkan tentang kredit macet adalah kasus Edy Tanzil. Peristiwa ini berawal dari keterangan anggota Komisi VII DPR RI, A. Baramuli, ketika rapat kerja dengan Gubernur Bank Indonesia di DPR, awal Februari 1994. Dalam rapat kerja itu, Hendro Budiarto-Direktur BI, membenarkan adanya permasalahan tersebut. Tak lama kemudian, Menteri Keuangan dan Direktur Bapindo (Bank Pembangunan Indonesia) juga membenarkan hal ini dan memberikan keterangan langsung terkait kredit macet sebesar 1,3 triliun rupiah kepada Edy Tanzil. 

Pada skandal Bapindo, ada beberapa pejabat Pemerintah yang disorot habis-habisan oleh media pada saat itu. Nama-nama seperti Sudomo (Mantan Ketua DPA), J. B. Sumarlin (Mantan Menteri Keuangan), Subekti Ismaun (Mantan Direktur Utama Bapindo). Sudomo pada saat itu memberikan rekomendasi pemberian kredit kepada Edy Tanzil saat dia menjabat sebagai Menko Polkam. Pada saat kredit dikucurkan, J. B. Sumarlin juga sedang menjabat sebagai Menteri Keuangan dan juga Ketua Dewan Komisaris Bapindo. Permasalahan utama kasus Bapindo ini tidak hanya jumlah kredit yang sangat besar (1,3 triliun) tetapi juga terkait kemungkinan pelanggaran legal lending limit dan perubahan prosedur usance L/C menjadi red clause L/C. 

Skandal kredit macet tidak hanya terjadi pada kasus Edy Tanzil tetapi juga terjadi di perusahaan-perusahaan konglemerat saat itu. Kasus Mantrust, Kasus Danamon, Kasus Bentoel, Kasus Summa-Astra. Selain itu, kasus kredit macet juga terjadi di kalangan keluarga atau kerabat dekat Cendana, contohnya adalah Bambang dan Tommy. Fenomena ini menujukkan bahwa kebijakan dereguasi perbankan telah menyimpang jauh dari tujuannya lantaran ulah tidak bertanggung jawab para konglomerat hitam pada saat itu. 

Tempo (edisi 08/11/1997) juga mempertegas maraknya praktek rent-seeking pada dunia perbankan kita saat itu. Tempo menyebutkan bahwa ada empat “penyakit” perbankan yang dibawa Pakto 88. Pertama, bank-bank banyak dikuasai para konglomerat. Di tangan konglomerat, suburlah praktek insider lending alias pemberian kredit untuk kelompok usaha mereka sendiri, padahal praktek tersebut terlarang bagi dunia perbankan. Kedua, tingginya suku bunga. Ada bank swasta yang berani memasang tarif 30 persen setahun. Ketiga, pemilik bank memperkuat status-quo kesenjangan penguasaan (monopoli) sumber ekonomi dalam masyarakat. Keempat, investasi banyak dikucurkan ke sektor mewah, misalnya apartemen, perkantoran mewah, dan lapangan golf. Sesuatu yang dianggap sebagai investasi yang tidak tepat sasaran.

Dari waktu ke waktu kondisi dunia perbankan di Indonesia telah mengalami banyak perubaan. Selain disebabkan oleh perkembangan internal dunia perbankan, juga tidak terlepas dari pengaruh perkembangan di luar dunia perbankan, seperti sektor riil dalam perekonomian, politik, hukum, dan sosial.

Perkembangan faktor internal dan external tersebut menyebabkan kondisi perbankan di Indonesia dapat dikelompokan dalam 4 periode. Masing – masing periode mempunyai ciri khusus yagn tidak dapat disamakan dengan periode lainnya. Deregulasi di sektor riil dan moneter yagn dimulai sejak tahun 1980 – an serta terjadinya krisis ekonomi di Indonesia sejak akhir tahun 1990 – an adalah dua peristiwa utama yang telah menyebabkan munculnya empat periode kondisi perbankan di Indonesia sampai dengan tahun 2000.

Keempat periode itu adalah:
Kondisi perbankan di Indonesia sebelum serangkaian paket – paket deregualsi di sektor riil dan moneter yang dimulai sejak tahun 1980 – an. Kondisi perbankan di Indonesia setelah munculnya deregulasi sampai dengan masa sebelum terjadinya krisis ekonomi pada akhir tahun 1990 – an. Kondisi perbankan di Indoneisa pada masa krisis ekonomi sejak akhir tahun 1990 – an dan Kondisi perbankan di Indonesia pada saat sekarang ini.

Kondisi sebelum deregulasi sangat dipengaruhi oleh berbagai kepentingan ekonomi dan politik dari Pemerintah. Tingkat inflasi yagn tinggi serta kondisi ekonomi makro secara umum yang tidak bagus terjadi bersamaan dengan kondisi perbankan yagn tidak dapat memobilisasikan dana dengan baik, hal tersebut merupakan fenomena yang terjadi pada masa sebelum deregulasi tersebut seolah – olah menjadi suatu lingkaran yang tidka ada ujung pangkalnya serta saling mempengaruhi. Untuk mengatasi situasi tersebut, ditempuh dengan cara melakukan serangkaian kebijakan berupa dergulasi di sektor riil dan sektor moneter. Pada tahap awal deregulasi lebih cepat dampaknya pada sektor moneter melalui perubahan di dunia perbankan.

Perubahan yang terjadi juga termasuk peningkatan peraturan pada bidang – bidang tertentu, sehingga deregulasi ini lebih tepat diartikan sebagai perubahan – perubahan yang dimotori oleh otoritas moneter untuk meningkatkan kinerja di dunia perbankan, dan pada akhirnya juga diharapkan akan meningkatkan kinerja sektor riil.

Industri perbankan di Indonesia telah mengalami banyak perubahan. Dimulai pada tahun 1983 ketika berbagai macam deregulasi mulai dilakukan pemerintah, kemudian bisnis perbankan berkembang pada kurun waktu 1988-1996. Pada pertengahan tahun 1997 industri perbankan akhirnya terpuruk sebagai imbas dari terjadinya krisis moneter dan krisis ekonomi yang melanda perekonomian Indonesia. Perubahan tersebut menyebabkan kondisi perbankan di Indonesia secara umum dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) periode. Tiap-tiap periode mempunyai ciri-ciri khusus yang tidak dapat disamakan dengan periode lainnya. 

Ketiga periode tersebut yaitu: Pertama, kondisi perbankan di Indonesia sebelum serangkaian paket deregulasi di sektor rill dan moneter yang dimulai sejak tahun 1983, dimana kondisi perbankan masa itu sangat kuat dipengaruhi oleh berbagai kepentingan ekonomi dan politik dari pengusaha, dalam hal ini adalah pemerintah. Sehingga kondisi perbankan tidak banyak mengalami perubahan. Secara lebih rinci keadaan perbankan pada masa itu adalah sebagai berikut :

1. Tidak adanya Peraturan Perundang-undangan yang mengatur secara jelas tentang perbankan di Indonesia.
2. Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) pada bank tertentu.
3. Jumlah bank swasta yang relatif sedikit.
4. Sedikit muncul bank-bank baru.
5. Persaingan antar bank yang tidak ketat.
6. Prosedur berhubungan dengan bank yang rumit.
7. Bank bukan merupakan alternatif utama bagi masyarakat luas untuk menyimpan dan meminjam dana.
8. Mobilisasi dana lewat perbankan yang sangat rendah.

Kedua, kondisi perbankan di Indonesia setelah deregulasi sampai dengan masa sabelum terjadinya krisis moneter dan krisis ekonomi. Pada masa ini pemerintah mengeluarkan kebijakan deregulasi dengan harapan dapat meningkatkan kinerja dunia perbankan, dan pada akhirnya diharapkan juga akan meningkatkan kinerja di sektor rill. Kebijakan tersebut berisi tentang penghapusan pagu kredit dan sistem kredit selektif disertai dengan subsidi bunga, serta memberikan kebebasan kepada masing-masing bank untuk menentukan tingkat suku bunga kredit dan penghimpunan dana, sehingga menyebabkan tingkat inflasi yang tinggi dan menyebabkan kondisi perbankan tidak bisa memobilisasi dananya dengan baik. 

Untuk mengatasi kondisi tersebut akhirnya pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan peran perbankan dalam meningkatkan kinerjanya di sektor rill melalui paket 27 Oktober 1988 yang dikenal dengan Pakto, dalam salah satu paketnya pemerintah memberikan kemudahan membuka kantor bank. Kebijakan-kebijakan di atas mengakibatkan banyak perubahan dalam dunia perbankan di Indonesia. Ciri-ciri kondisi perbankan saat itu Antara lain :
1. Peraturan yang memberikan kepastian hukum.
2. Jumlah bank swasta bertambah banyak.
3. Tingkat persaingan bank yang semakin kuat.
4. Kepercayaan masyarakat terhadap bank meningkat.
5. Mobilisasi dana melalui sektor perbankan yang semakin besar.

Ketiga, kondisi perbankan di Indonesia saat krisis moneter dan krisis ekonomi pada akhir tahun 1997 sampai sekarang. Deregulasi dan penerapan kebijakan sektor moneter dan rill menyebabkan perbankan mempunyai kemampuan untuk meningkatkan kinerja ekonomi makro di Indonesia. Perkembangan ini dalam waktu yang sangat singkat menjadi terhenti bahkan mengalami kemunduran total akibat adanya krisis moneter dan krisis ekonomi yang terjadi pada akhir tahun 1997. Krisis moneter dan krisis ekonomi ini banyak menyebabkan perubahan dalam kondisi perbankan di Indonesia, sehingga  kondisinya sebagai berikut :

1.    Tingkat kepercayaan masyarakat dalam dan luar negari terhadap perbankan di Indonesia yang menurun drastis.
2.    Sebagian besar bank dalam keadaan tidak sehat.
3.    Munculnya penggunaan Peraturan Perundangan yang baru.
4.    Jumlah bank menurun.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kondisi di atas adalah :
1.    Kurang memperhatikan prinsip kehati-hatian yang konservatif membuat semakin memburuknya kondisi perbankan saat ini, sehingga mengakibatkan sebagian besar bank dalam keadaan tidak sehat.
2.    Pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan perbankan dan kinerja bank nasional yang sangat buruk, dikarenakan lemahnya peraturan yang mengatur perbankan di Indonesia.
3.    Proporsi kredit bermasalah yang semakin besar dan tingkat likuiditas yang rendah, membuat suku bunga antar bank menjadi sangat tinggi dan berimbas pada hancurnya performance dunia usaha yang akhirnya Non Performing Loan (NPL) menjadi tinggi. Hal ini mengakibatkan banyak perbankan yang sebagian besar didominasi oleh bank-bank konvensional mengalami kesulitan untuk melanjutkan usaha, sehingga tidak sedikit bank yang berakhir dengan melakukan penutupan usaha atau dilikuidasi.
Risiko kredit merupakan perbandingan antara saldo akhir bermasalah (Non Performing Loan) dengan total harta (asset) secara keseluruhan. Risiko kredit yang disebabkan karena ketidakmampuan pihak debitur untuk memenuhi kewajibannya kepada bank seperti pembayaran pokok pinjaman, pembayaran bunga dan lain-lain tidak sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan, bila tidak dikelola dengan baik maka akan mengakibatkan proporsi kredit bermasalah yang semakin besar sehingga akan berdampak tehadap kondisi perbankan, yang pada akhirnya dapat pula mempengaruhi penilaian masyarakat terhadap tingkat kesehatan bank

Kondisi Sebelum Deregulasi
Masa Kolonial (Wilayah Hindia-Belanda)
·         Mobilisasi dana dari investor untuk membiayai kebutuhan dana investasi dan modal kerja perusahaan-perusahaan besar milik colonial
·         Memberikan jasa-jasa keuangan kepada perusahaanperusahaan besar milik kolonial, seperti giro, garansi bank,pemindahan dana, dll
·         Membantu pemindahan dana jasa modal dari wilayah kolonial ke negara penjajah
·         Sebagai tempat sementara dari dana hasil pemungutan pajak dari perusahaan penjajah maupun dari masyarakat pribumi, untuk kemudian dikirim ke negara penjajah
·         Mengadministrasikan anggaran pemerintah untuk membiayai kegiatan pemerintah kolonial.
Beberapa bank asing yang melakukan operasinya, yaitu :
1.    De Bankcourant yang didirikan pada tanggal 1 September 1752
2.    De Javasche Bank yang didirikan pada tahun 1828
3.    Nederlandsch Indische Escompto Maatschapij, Nederlandsch Indische Handelsbank, dan Nederlandsche Handel Maatschapij mulai beroperasiberturut-turut pada tahun 1857, 1864, dan 1883
4.    De Bank van Leening, pada tanggal 20 Agustus 1746.
5.    The Chartered Bank of India, Australia and China, Batavia tahun 1862
6.    Hongkong and Shanghai Banking Corporation, Batavia tahun 1884
7.    Yokohama-Specie Bank, Batavia tahun 1919
8.    Taiwan Bank, tahun 1915, Batavia, Semarang, dan Surabaya
9.    China and Southern Ltd., Batavia tahun 1920
10. Mitsui Bank, Surabaya tahun 1925
11. Overseas China Banking Corporation, Batavia tahun 1932

Masa Setelah Kemerdekaan
a. Mobilisasi dana dari investor untuk membiayai kebutuhan dana investasi dan modal kerja perusahaan-
    perusahaan besar milik pemerintah dan swasta
b. Memberikan jasa-jasa keuangan kepada perusahaan-perusahaan besar
c. Mengadministrasikan anggaran pemerintah untuk membiayai kegiatan pemerintah
d. Menyalurkan dana anggaran untuk membiayai program dan proyek pada sektor - sektor yang ingin di 
    kembangkan oleh pemerintah

Keadaan perbankan masa sebelum deregulasi:
a. Tidak adanya peraturan perundangan yang mengatur secara jelas tentang perbankan di Indonesia (UU 
    No.13 Th.‘68)
b. Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) pada bank-bank tertentu
c. Bank banyak menanggung program-program pemerintah
d. Instrumen pasar uang yang terbatas
e. Jumlah bank swasta yang relatif sedikit
f. Sulitnya pendirian bank baru
g. Persaingan antar bank yang tidak ketat
h. Posisi tawar-menawar bank relatif lebih kuat daripada nasabah
i. Prosedur berhubungan dengan bank yang rumit
j. Bank bukan merupakan alternatif utama bagi masyarakat luas untuk menyimpan dan meminjam dana
k. Mobilisasi dana lewat perbankan yang sangat rendah
1.Deregulasi 1 juni 1983

Memberikan keleluasaan kepada semua bank untuk menyerahkan tingkat suku bunga kepada mekanisme pasar.

2. Deregulasi Oktober 1988
Memberi keringanan persyaratan bagi bank-bank yang ingin meningkatkan statusnya menjadi bank devisa, membuka kemungkinan pendirian bank campuran (kerjasama dengan bank asing) dan memberi kesempatan bagi bank asing untuk membu­ka kantor cabang pembantu di kota-kota tertentu.

3.Deregulasi 25 Maret 1989 (penyempurnaan Pakto’88)
Memberi kesempatan yang lebih luas bagi bank untuk melakukan penyertaan dana pada lembaga-lembaga lain serta memberikan kredit investasi jangka menengah dan panjang.

4. Deregulasi Januari 1990
untuk membatasi jumlah kredit likuiditas Bank Indonesia dan mengharuskan bank-bank membagi 20 persen dari kreditnya kepada kredit usaha kecil (KUK)

5. Deregulasi 25 Pebruari 1991
Pakfeb ini ditentukan tingkat kesehatan bank yang menyangkut kecukupan modal (CAR), pembatasan pemberian kredit yang tidak didukung oleh dana masyarakat (LDR), persyaratan kepemilikan dan kepengurusan, ketentuan legal lending limit dan pembentukan cadangan untuk menutupi resiko.

6. Deregulasi 29 Mei 1993
Pakmei ditujukan untuk mendorong kelancaran ekspansi kredit perbankan dengan memberikan ruang gerak yang lebih luas kepada perbankan.

Kondisi Setelah Deregulasi
Kebijakan Deregulasi yang terkait dengan dunia perbankan:
a. Paket 1 Juni 1983
b. Bank Indonesia sejak 1984 mengeluarkan SBI
c. Bank Indonesia sejak 1985 mengeluarkan ketentuan perdagangan SBPU dan fasilitas diskonto oleh BI
d. Paket 27 Oktober 1988
e. Paket 20 Desember 1988
f. Paket 25 Maret 1989
g. Paket 29 Januari 1990
h. Paket 28 Februari 1991
i. UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
j. Paket 29 Mei 1993 tentang penyempurnaan aturan kesehatan bank

Ciri perbankan setelah deregulasi :
a. Peraturan yang memberikan kepastian hukum
b. Jumlah bank swasta bertambah banyak
c. Tingkat persaingan bank yang semakin kuat
d. Sertifikat Bank Indonesia dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU)
e. Kepercayaan masyarakat terhadap bank meningkat
f. Mobilisasi dana sektor perbankan yang semakin besar

Kondisi Saat Krisis Ekonomi
Ciri Kondisi perbankan saat krisis
a. Tingkat kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri terhadap perbankan di Indonesia menurun drastic
b. Sebagian besar bank dalam keadaan tidak sehat
c. Adanya spread negative
d. Munculnya penggunaan peraturan yang baru
e. Jumlah bank menurun

Kondisi Pasca Krisis Ekonomi
a. Selesainya penyusunan Arsitektur Perbankan Indonesia (API)
b. Serangkaian rencana dan komitmen pemerintah, DPR, dan Bank Indonesia untuk membentuk atau 
    menyusun:
1. Lembaga penjamin simpanan
2. Lembaga pengawas perbankan yang independen
3. Otoritas jasa keuangan

c. Kinerja perbankan yang lebih baik, yang mengarah kepada praktik:
1. Manajemen pengelolaan risiko yang lebih baik
2. Struktur perbankan nasional yang lebih baik
3. Penerapan prinsip kehati-hatian (prudential banking) yang konsisten.

DEREGULASI perbankan sudah digulirkan sejak 14 tahun yang lalu. Kesan bongkar pasang itu tak terhindarkan.Bahkan, dari dampak yang kini terasa yaitu goyahnya sejumlah bank swasta, sangat terasa bahwa aturan-aturan perbankan Indonesia memang tak didasari pengalaman negara-negara lain yang sudah lebih lama mengatur tentang bank.

Deregulasi perbankan yang dikeluarkan pada 1 Juni 1983 mencatat beberapa hal. Di antaranya: memberikan keleluasaan kepada bank-bank untuk menentukan suku bunga deposito. Kemudian dihapusnya campur
tangan Bank Indonesia terhadap penyaluran kredit. Deregulasi ini juga yang pertama memperkenalkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Berharga Pasar Uang (SPBU). Aturan ini dimaksudkan untuk
merangsang minat berusaha di bidang perbankan Indonesia di masa mendatang Lima tahun kemudian ada Paket Kebijakan 27 Oktober 1988 (Pakto 88) yang terkenal itu. Pakto 88 boleh dibilang adalah aturan paling liberal sepanjang sejarah Republik Indonesia di bidang perbankan. 

Contohnya, hanya dengan modal Rp 10 milyar maka seorang pengusaha bisa membuka bank baru. Dan kepada bank-bank asing lama dan yang baru masuk pun diijinkan membuka cabangnya di enam kota. Bahkan bentuk patungan antar bank asing dengan bank swasta nasional diijinkan. Dengan demikian, secara terang-terangan monopoli dana BUMN oleh bank-bank milik negara dihapuskan. Bahkan, beberapa bank kemudian menjadi bank devisa karena persyaratan untuk mendapat predikat itu dilonggarkan. Dengan berbagai kemudahan Pakto 88, meledaklah jumlah bank di Indonesia. Banyaknya jumlah bank membuat kompetisi pencarian tenaga kerja, mobilisasi dana deposito dan tabungan jugase makin sengit. 

Ujung-ujungnya, karena bank terus dipacu untuk mencari untung, sisi keamanan penyaluran dana terabaikan, dan akhirnya kredit macet menggunung. Kondisi ini kemudian memunculkan Paket Februari 1991(Paktri) yang mendorong dimulainya proses globalisasi perbankan.

Salah satu tugasnya adalah berupaya untuk mengatur pembatasan dan pemberatan persyaratan perbankan dengan mengharuskan dipenuhinya persyaratan modal minimal 8 % dari kekayaan. Yang diharapkan dalam paket itu adalah akan adanya peningkatan kualitas perbankan Indonesia. Dengan mewajibkan bank-bank memenuhi aturan penilaian kesehatan bank yang mempergunakan formula kriteria tertentu, tampaknya paket itu tidak bisa menghindari kesan sebagai produk aturan yang diwarnai trauma atas terjadinya kasus kolapsnya bank Perbankan Asia, Bank Duta, dan Bank Umum Majapahit.

Setelah itu, lahir UU Perbankan baru bernomor 7 tahun 1992 yang disahkan oleh Presiden Soeharto pada 25 Maret 1992. Undang Undang itu merupakan penyempurnaan UU Nomor 14 tahun 1967. Intinya, UU itu
menggarisbawahi soal peniadaan pemisahan perbankan berdasarkan kepemilikan. Kalau UU yang lama secara tegas menjelaskan soal pemilikan bank/pemerintah, pemerintah daerah, swasta nasional, dan asing. Mengenai perizinan, pada UU lama persyaratan mendirikan bank baru ditekankan pada permodalan dan pemilikan. Pada UU yang baru, persyaratannya meliputi berbagai unsur seperti susunan organisasi, permodalan, kepemilikan, keahlian di bidang perbankan, kelayakan kerja, dan hal-hal lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan pertimbangan Bank Indonesia.

Untuk mengurangi sebagian kendala yang dihadapi perbankan dalam melakukan ekspansi kredit dan koreksi terhadap Paktri yang begitu mengekang bank, pemerintah mengeluarkan Paket 29 Mei 1993 (Pakmei). Dengan Pakmei itu, pemerintah berharap mengucurkan kredit, sehingga dunia usaha tidak lesu lagi dan industri otomotif bisa bergairah kembali. Disebutkan dalam Pakmei ini pencapaian CAR (capital adiquacy ratio)– atau perimbangan antara modal sendiri dan aset –sesuai dengan ketentuan adalah 8 persen. Kemudian penyempurnaan lain pada paket itu adalah ketentuan loan to deposit ratio (LDR).

Aturan yang terakhir diluncurkan adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 68 tahun 1996 yang ditanda tangani Presiden RI pada 3 Desember 1996. Belajar dari pengalaman Bank Summa, PP ini sangat menguntungkan para nasabah karena nasabah bank akan tahu persis rapor banknya. Dengan begitu, mereka bisa bersiap-siap jika suatusaat banknya sedang goyah atau bahkan nyaris pailit.

Penilaian Kesehatan Bank 
Kesehatan merupakan hal yang paling penting di dalam berbagai bidang kehidupan, baik bagi manusia maupun perusahaan. Kondisi yang sehat akan meningkatkan gairah kerja dan kemampuan kerja serta kemampuan lainnya. Sama seperti hanya manusia yang harus selalu menjaga kesehatannya, perbankan juga harus selalu dinilai kesehatannya agar tetap prima dalam melayani para nasabahnya. Bank yang tidak sehat, bukan hanya membahayakan dirinya sendiri, akan tetapi pihak lain. Penilaian kesehatan bank amat penting dise­babkan karena bank mengelola dana masyarakat yang dipercayakan kepada bank. Masyarakat pemilik dana dapat saja menarik dana yang dimilikinya setiap saat clan bank harus sanggup mengembalikan dana yang dipakainya jika ingin tetap dipercaya oleh nasabahnya.

Untuk menilai suatu kesehatan bank dapat dilihat dari berbagai segi. Penilaian ini bertujuan untuk menentukan apakah bank terse­but dalam kondisi yang sehat, cukup sehat, kurang sehat atau tidak sehat. Bagi bank yang sehat agar tetap mempertahankan kesehat­annya, sedangkan bank yang sakit untuk segera mengobati penyakit­nya. Bank Indonesia sebagai pengawas dan pembina bank-bank dapat memberikan arahan atau petunjuk bagaimana bank tersebut harus dijalankan atau bahkan kalau perlu dihentikan kegiatan operasinya.

Standar untuk melakukan penilaian kesehatan bank telah diten­tukan oleh pemerintah melalui Bank Indonesia. Kepada bank-bank diharuskan membuat laporan baik yang bersifat rutin ataupun secara berkala mengenai seluruh aktivitasnya dalam suatu periode tertentu. Dari laporan ini dipelajari dan dianalisis, sehingga dapat diketahui kondisi suatu bank. Dengan diketahui kondisi kesehatannya akan memudahkan bank itu sendiri untuk memperbaiki kesehatannya.

Penilaian kesehatan bank dilakukan setiap periode. Dalam se­tiap penilaian ditentukan kondisi suatu bank. Bagi bank yang sudah dinilai sebelumnya dapat pula dinilai apakah ada peningkatan atau penurunan kesehatannya. Bagi bank yang menurut penilaian sehat atau kesehatannya terus meningkat tidak jadi masalah, karena itu­lah yang diharapkan dan supaya tetap dipertahankan terus. Akan tetapi bagi bank yang terus-menerus tidak sehat, maka harus men­dapat pengarahan atau bahkan sangsi sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Bank Indonesia sebagai pengawas dan pembina perbankan da­pat saja menyarankan untuk melakukan berbagai perbaikan. Perbaik­an-perbaikan yang akan dilakukan meliputi perubahan manajemen, melakukan penggabungan seperti merger, konsolidasi, akuisisi atau malah dilikuidasi (dibubarkan) keberadaannya jika memang sudah parah kondisi bank tersebut. Pertimbangan untuk hal ini sangat tergantung dari kondisi yang dialami bank yang bersangkutan. Jika kondisi bank sudah sedemikian parah, namun masih memiliki be­berapa potensi, maka sebaiknya dicarikan jalan keluarnya dengan model penggabungan usaha dengan bank lainnya. Sedangkan lang­kah likuidasi merupakan jalan keluar terakhir dalam rangka menye­lamatkan uang masyarakat.


NAMA   : DARMI KARTIKA
NPM      : 11112722

KELAS : 2ka30